TRADISI INKULTURASI DI KEUSKUPAN ATAMBUA


Dusun kecil  yang sangat jauh dari perkotaan yaitu di wilayah keuskupan Atambua, paroki Rafau Stasi Dasin dan Masik. Walau perubahan zaman begitu pesat namun budaya mereka masih tetap memboyong dalam genggaman yang tak'kan sirna terbawa arus zaman. "Budaya harus terus di budidayakan dan di lakukan terus menerus khususnya dalam bidang agama yang terpenting tidak menggangu liturgi agar generasi milenial tetap menjaga kelestarian budaya", ujar Romo Kristophorus Ukat,Pr.

Paskah tahun 2022, budaya di daerah terpencil itu di lakukan mulai dari kamis Putih,Jumat Agung,Sabtu Aleluya hingga Minggu Paskah. Permintaan yang begitu mengesankan dan makin menggugah hati umat dari sang Misionaris lokal Keuskupan Atambua yang sedang mengembankan tugas di Paroki Santa Theresia Kefamenanu. Anjuran itu mulai dari tur hamutuk(duduk bersama), ha hamutuk(makan bersama), hemu hamutuk(minum bersama), bunyi tiupan tanduk kerbau dan gendrang, ratap, lakumerin hingga tebe bot. Dengan gembira umat menerima anjuran Sang Misionaris karena menganggap bahwa bukan hanya berdoa tetapi pemberdayaan budaya agar tetap terjaga.

Tur hamutuk(duduk bersama),ha hamutuk(makan bersama)hemu hamutuk(minum bersama) berlansung tepatnya pada hari Kamis Putih dimana kamis putih di kenal dengan perjamuan malam terakhir. Ada satu hal yang mengesankan adalah semua umat mengenakan sarung, menempati tikar yang di ayam dari daun lontar dan menikmati sesajian berupa pisang, ubi, kacang dan sopi. Perjamuan itu berjalan sebagaimana tatanan adat istiadat di Daerah Dasin dan Masik. Semenjana menikmati hindangan lantas ada seorang tua adat mengungkapkan " ada tanduk yang harus di tiup sebagai tanda bahwa seseorang telah tiada". Suara tandu dan gendrang akan di lakukan pada Jumat Agung sebagai tanda bahwa raja telah wafat.

Jalan salib berarak dari Kapela Stasi Masik ke Dasin. Panas terik matahari begitu membara, hingga membakar tubuh yang tak bertopi dan kaki yang tak beralaskan. Ribuan umat mulai dari bayi hingga tua-tua yang sudah lanjut usia menelusuri jalan bebatuan,memanggul salib yang berat. Dari perhentian ke perhentian penuh penghayatan yang dangkal. Stasi XII telah di hampiri, tiupan tanduk kerbau dan pukulan gendrang seketika menggema hingga alam turut mengambil bagian dalam jalan salib. Sang Katekis menuturkan kata demi kata hingga terurai air. Ribuan umat meneteskan air mata, yang berpijakan lutut pada bumi, dari deraian air mata hingga menyulam sebuah makna.
Tangisan penuh harus buka sebatas itu namun berpuncak pada ratap ibu-ibu dan pemrakarsa Yesus menambah suasana duka kematian Yesus Kristus. Saat berduka umat di Stasi Dasin dan Masik meratapi kematian Yesus semalaman secara budaya mulai dari stasi I hinggan stasi XIV yang di sebut dengan Lakumerin. Tetapi  iman katolik mengakui setelah kematian ada kebangkitan, kematiaan itu gelap dan kabagkitan adalah terang. Maka dari kegelapan tecipta terang dari alam berdasarkan budaya yang berlansung pada Sabtu Aleluya bertanda Kristus telah bangkit dan mengalahkan maut.

Tumpukan kayu di sediakan sebagai api unggun,untuk menerangi prosesi perayaan Sabtu Aleluya. Bapak Gabriel bersama temannya bertapak tepat depan tumpukan kayu dengan membawa perlengkapan penyalaan api alam. Terdiri dari Besi, Fatu Le'e(batu),Nawa(Enau),Nu'u(serbuk enau).
Saat gesekan antara besi dan Fatu Le'e(batu) menghasil bunga api pada Nu'u(serbuk enau)lalu menyalakannya dengan enau.Sesaat api unggunpun mulai menyala dan menerangi lorong-lorong kapel yang gelap gulita. Karena sukacita kebangkitan dan terang dari api unggun umat membawakan tarian daerah dengan sukacita atas kebangkitan Kristus, tarian itu di sebut dengan Tebe Bot.

Tebe Bot berlansung pada minggu paskah,para lelaki bergandengan tangan membuat lingkaran dan mulai mendendangkan syair syair sukacita dan ibu-ibu berbaris membuat lingkaran mengelilingi laki-laki sambil menjawab senandung syair dari para lelaki bagai berbalas pantun. Namun satu hal yang sangat mengagumkan adalah genggaman tangan tak'kan terlepas jika pembesar tidak mengeluarkan sopi untuk melepaskan atau membubarkan mereka  biasa di sebut dengan koraliman(melepaskan).

Inkulturasi budaya di daerah terpencil di Rafau Stasi Dasin dan Masik membuat umat merasa bahwa budaya juga sangat dibutuhkan dalam agama. Maka dengan adanya inkulturasi ini generasi milenial dapat mengenal dan akan meneruskannya hingga nanti. Bukan hanya sebatas daerah terpencil itu tetapi dimana mereka sebagai contoh untuk mengajak umat di paroki-paroki lain agar tetap menjaga kelestarian budaya.



Komentar

Fredy mengatakan…
Keren banget nih

Postingan populer dari blog ini

PENGAGUM RAHASIA

BAYANGAN YANG TERBAYANG

MUNGKINKAH BEGITU?