BAHAYA ORANG KETIGA
Oleh: Julianto Silab
Keluarga sering diartikan sebagai suatu unit terkecil dalam kemasyarakatan. Kesejahteraan suatu masyarakat ditentukan pula oleh kehidupan keluarga, maka keluarga baik menghasilkan masyarakat yang sejahtera dan begitu pun sebaliknya. Dalam pengertian yang lebih esensial ialah bahwa kesejahteraan keluarga menjamin kesejahteraan manusia sebagai makhluk sosial agar tercapailah kesejahteraan bersama (bonum commune) yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Atas dasar inilah keluarga dibangun dalam satu bentuk lembaga sosial yaitu pernikahan. Janji kesetiaan yang diikrarkan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan dalam upacara pernikahan berorientasi pada hidup keluarga yang damai, bahagia dan sejahtera lahir batin.
Dalam usaha mencapai kesejahteraan bersama, dinamika hidup berkeluarga di samping keluarga yang hidup bahagia, tentunya dihiasi dengan kesedihan dan problem-problem hidup baik dari dalam keluarga (internal) maupun dari luar (eksternal). Problem-problem hidup berkeluarga yang tidak dihadapi dengan baik akan berujung pada perceraian suami-istri. Maka ketika menghadapi problem hidup berkeluarga, suami-istri sebagai pelopor keluarga perlu melihat kembali janji kesetiaan yang diikrarkan. Kesetiaan hidup berkeluarga diartikan sebagai sikap cinta yang total dan bebas dengan pendirian yang kokoh, tulus menjalani, tidak berkhianat, saling memperjuangkan dan pemberian diri yang utuh. Dengan janji kesetiaan itu, sang suami menyadari adanya untuk sang istri dan sang istri menyadari adanya untuk sang suami; saling melengkapi hingga kesetiaan itu dimaknai sehidup semati dalam suka dan duka.
Salah satu faktor yang paling berpotensi menimbulkan problem dalam hidup berkeluarga adalah perselingkuhan. Hadirnya orang ketiga dalam suatu hubungan pernikahan menjadi titik tolak kurangnya saling percaya dan tidak saling menghargai antara suami-istri sehingga kemungkinan besar perceraian menjadi salah satu alternatif yang dapat terjadi. Laporan statistik Indonesia menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 516.334 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, ada peningkatan sebesar 15,31 % dari 447.743 kasus yang terjadi pada tahun 2021. Salah satu penyebab perceraian di Indonesia adalah karena perselingkuhan. Maka tidak biasa di sangkal jika Indonesia pernah menempati posisi kedua negara dengan kasus selingkuh terbanyak di Asia.
Perselingkuhan sangat berbahaya bagi hubungan pernikahan. Selingkuh diartikan sebagai tindakan emosional rasa yang berlebihan hingga seksual, yang dilakukan oleh suami atau istri (salah satu atau bisa keduanya) dengan pihak lain atau orang ketiga. Ada berbagai bentuk perselingkuhan, mulai dengan hanya sekedar teman kantor, teman curhat hingga pada perbuatan zina (berpegang tangan, berciuman hingga seks). Suami atau istri yang melakukan perselingkuhan secara langsung menyangkal hubungan pernikahan mereka, bahkan menyangkal keberadaan suami atau istri. Suami atau istri yang berselingkuh berarti ia mencari sesuatu yang lain yang tidak dimiliki oleh suami atau istri. Watkins dan Boon (2016) menjelaskan bahwa perselingkuhan oleh wanita terjadi karena ketidakpuasan emosional dalam hubungan pernikahan, sedangkan perselingkuhan pada laki-laki lebih mengarah pada motivasi seksual.
Penyebab utama terjadinya perselingkuhan adalah adanya orang ketiga. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa jika tidak ada orang ketiga, maka perselingkuhan itu sesungguhnya tidak terjadi. “Tidak ada orang ketiga” di sini merujuk pada keberadaan orang ketiga tersebut, seperti tidak ada niat buruk dari pihak tertentu dengan alasan apa pun untuk mengganggu atau merusak hubungan pernikahan orang lain. Atau, toh niat untuk berselingkuh datang dari suami atau istri, diandaikan bahwa suami atau istri tidak mendapat pasangan yang cocok untuk berselingkuh. Namun, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan perselingkuhan.
Pertama, pudarnya iman dalam keluarga. Keluarga dibangun juga atas dasar iman kepada Tuhan. Maka secara langsung suami-istri mesti menjadikan Tuhan sebagai pedoman dalam hidup berkeluarga dan menaati segala perintah-Nya. Ketika iman suami atau istri mulai pudar, suami atau istri mulai kehilangan arah dan mudah tergoda ketika hadirnya orang ketiga. Maka terjadilah perselingkuhan tanpa memikirkan bahwa perbuatannya berlawanan dengan hukum Tuhan yaitu janji kesetiaan yang diucapkan saat pernikahan.
Kedua, adanya peluang. Sebagaimana ungkapan tentang kejahatan; “kejahatan terjadi bukan karena niat tetapi karena kesempatan (peluang)”, bisa dibenarkan. Banyak kasus perselingkuhan terjadi karena peluang yang besar, seperti perselingkuhan dengan kerabat dan yang marak terjadi ialah suami berselingkuh dengan sekretarisnya atau istri berselingkuh dengan bosnya. Berawal dari “hanya sekedar” merujuk pada perselingkuhan.
Ketiga, konflik dalam keluarga. Perselisihan pendapat merupakan hal yang wajar dalam hidup berkeluarga. Menghadapi hal ini, suami-istri secara bersama-sama perlu mencari solusi yang bijak untuk keluar dari persoalan tersebut. Namun, masih banyak suami-istri yang lebih mementingkan ego sendiri. Hal ini kemudian yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Maka, suami atau istri akan mencari keharmonisan di luar rumah pada orang ketiga, yang sebenarnya merupakan kebahagiaan sesaat.
Keempat, harta, takhta dan nafsu. Manusia pada umumnya mudah jatuh pada ketiga hal ini karena ketidakpuasan. Ini menjadi persoalan dalam hidup berkeluarga. Ketika suami atau istri menganggap harta yang dimiliki pasangannya kurang, jabatan pasangannya tidak terpandang, bahkan hubungan intim yang kurang memuaskan, suami atau istri akan mencarinya pada orang yang lain. Perselingkuhan terjadi karena suami atau istri mencari hal lain yang tidak dimiliki pasangannya.
Melihat penyebab terjadinya perselingkuhan di atas, ada banyak dampak yang ditimbulkan. Mulai dari kekerasan fisik maupun gangguan mental hingga dampak buruk pada anak. Korban perselingkuhan akan mengalami stres, putus asa, hilangnya semangat hidup bahkan bisa saja melakukan tindakan bunuh diri. Perselingkuhan tidak hanya membahayakan hubungan pernikahan tetapi juga membahayakan pribadi suami-istri itu sendiri.
Untuk menghindari perselingkuhan, apa yang harus dibuat suami-istri? Atau jelasnya bagaimana agar suami atau istri tidak terjebak dan tergoda dengan kehadiran orang ketiga?. Pencegahan perselingkuhan menjadi tanggung jawab suami-istri. Untuk itu, strategi yang baik bagi suami istri adalah saling komunikasi. Saling komunikasi antara suami-istri menandakan adanya sikap saling menghargai, kesetiaan untuk menjaga komitmen, terbuka satu sama lain, menjaga rasa kepercayaan dan sebagai pengungkapan cinta. Suami-istri juga perlu menghayati janji kesetiaan pernikahan mereka sehingga dapat saling memberi secara utuh tanpa ada kesempatan untuk orang ketiga. Dengan begitu, apa yang dicita-citakan untuk menjadi keluarga yang sejahtera dapat terwujud.
Komentar